music klasik

0 komentar

Musik klasik merupakan istilah luas yang biasanya mengacu pada musik yang dibuat di atau berakar dari tradisi kesenian Barat, mencakup periode dari sekitar abad ke-9 hingga abad ke-21.

Sejarah musik klasik Barat
Zaman Pertengahan (476 – 1450)
Zaman Renaisans (1450 – 1600)
Zaman Barok (1600 – 1750)
Zaman Klasik (1740 – 1830)
Zaman Romantik (1815 – 1910)
Abad ke-20 (1900 – 2000)
Abad ke-21 (2001 – sekarang



Zaman Klasik atau Periode Klasik dalam sejarah musik Barat berlangsung selama sebagian besar abad ke-18 sampai dengan awal abad ke-19. Walaupun istilah musik klasik biasanya digunakan untuk menyebut semua jenis musik dalam tradisi ini, istilah tersebut juga digunakan untuk menyebut musik dari zaman tertentu ini dalam tradisi tersebut. Zaman ini biasanya diberi batas antara tahun 1750 dan 1820, namun dengan batasan tersebut terdapat tumpang tindih dengan zaman sebelum dan sesudahnya, sama seperti pada semua batasan zaman musik yang lain.

Zaman klasik berada di antara Zaman Barok dan Zaman Romantik. Beberapa komponis zaman klasik adalah Joseph Haydn, Muzio Clementi, Johann Ladislaus Dussek, Andrea Luchesi, Antonio Salieri dan Carl Philipp Emanuel Bach, walaupun mungkin komponis yang paling terkenal dari zaman ini adalah Wolfgang Amadeus Mozart dan Ludwig van Beethoven.

Ciri Musik Pada Zaman Klasik
1. Menggunakan peralihan dinamik dari lembut sampai keras atau (cressendo)dan dari keras menjadi lembut(decrssendo). 2. Perubahan-perubahan tempo dengan percepatan atau (accelerando) dan perlambatan(ritardando). 3. Hiasan / ornamentik diperhemat pemakaiannya. 4. Pemakaian akord 3 nada.

[...]

Pengertian Musik

0 komentar

Musik adalah salah satu media ungkapan kesenian, musik mencerminkan kebudayaan masyarakat pendukungnya. Di dalam musik terkandung nilai dan norma-norma yang menjadi bagian dari proses enkulturasi budaya, baik dalam bentuk formal maupun informal. Musik itu sendiri memiliki bentuk yang khas, baik dari sudut struktual maupun jenisnya dalam kebudayaan. Demikian juga yang terjadi pada musik dalam kebudayaan masyarakat melayu.



Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 602)
Musik adalah: ilmu atau seni menyusun nada atau suara diutarakan, kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai keseimbangan dan kesatuan, nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan (terutama yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu).

Pengertian ini sesuai dengan pendapat Hamzah (1988) yang menyatakan bahwa :
Perkembangan musik melayu dapat diklasifikasikan kepada sembilan bentuk, berdasarkan bentuknya yaitu (1) musik tradisional melayu, (2) musik pengaruh India, Persia, dan Thailand atau Siam seperti : nobat, menhora, makyong, dan rodat, (3) musik pengaruh Arab seperti : gambus, kasidah, ghazal, zapin, dan hadrah, (4) nyanyian anak-anak, (5) musik vokal (lagu) yang berirama lembut seperti tudung periuk, damak, dondang sayang, dan ronggeng atau joget, (6) keroncong dan stambul yang tumbuh dan berkembang awalnya di Indonesia, (7) lagu-lagu langgam, (8) lagu-lagu patriotik tentang tanah air, kegagahan, dan keberanian, (9) lagu-lagu ultramodern yang kuat dipengaruhi budaya barat.


Berdasarkan pendapat diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwasanya musik dapat juga disebut sebagai media seni, dimana pada umumnya orang mengungkapkan kreativitas dan ekspresi seninya melalui bunyi-bunyian atau suara. Oleh karena itulah pengertian musik sangat Universal, tergantung bagaimana orang memainkannya serta menikmatinya.
Seni musik adalah cetusan ekspresi perasaan atau pikiran yang dikeluarkan secara teratur dalam bentuk bunyi. Bisa dikatakan, bunyi (suara) adalah elemen musik paling dasar. Suara musik yang baik adalah hasil interaksi dari tiga elemen, yaitu: irama, melodi, dan harmoni. Irama adalah pengaturan suara dalam suatu waktu, panjang, pendek dan temponya, dan ini memberikan karakter tersendiri pada setiap musik. Kombinasi beberapa tinggi nada dan irama akan menghasilkan melodi tertentu. Selanjutnya, kombinasi yang baik antara irama dan melodi melahirkan bunyi yang harmoni.
Musik termasuk seni manusia yang paling tua. Bahkan bisa dikatakan, tidak ada sejarah peradaban manusia dilalui tanpa musik, termasuk sejarah peradaban Melayu. Dalam masyarakat Melayu, seni musik ini terbagi menjadi musik vokal, instrument dan gabungan keduanya. Dalam musik gabungan, suara alat musik berfungsi sebagai pengiring suara vokal atau tarian. Alat-alat musik yang berkembang di kalangan masyarakat Melayu di antaranya: canang, tetawak, nobat, nafiri, lengkara, kompang, gambus, marwas, gendang, rebana, serunai, rebab, beduk, gong, seruling, kecapi, biola dan akordeon. Alat-alat musik di atas menghasilkan irama dan melodi tersendiri yang berbeda dengan alat musik lainnya.

[...]

MaJoR LaBeL vs InDiE LaBeL

0 komentar

Perkembangan musik di Indonesia di abad 20 ini, bagaikan jamur dimusim hujan (masih pepatah lama). Kadang bersamaan muncul, kadang bersamaan tenggelam. Mungkin karena hobi pendengarnya, hanya ingin bosan dengar musik. So. Kalau ada lagu baru maunya dengar terus tiap hari hingga bosan, lalu ditinggalkan. Wets, habis manis sepah dibuang donk.

Jadi pertanyaanya, seberapa besar kita mencintai musik? Seberapa besar kita menghargai karya orang lain? Tanyakan pada diri anda?

Kembali ketopik kita ‘Major Label vs Indie Label’.
Sebenarnya, keduanya tidak boleh dipertentangkan. Karena itu, tulisan ini hanya ingin mendamaikan. Sebenarnya Band Major dan Indie memiliki kesamaan tujuan bermusik untuk diri sendiri. Walaupun nantinya, banyak kepentingan yang masuk. Mulai dari kepentingan lingkungan band, Rekaman hingga pendengar.

Inti perbedaan sebenarnya pada produksinya. Band major label yang selama ini disebut band papan atas, memproduksi lagunya menggunakan jasa studio record besar. Misalnya untuk di Sukabumi sendiri saat ini sebut aja diantaranya Vagetoz, Starlet, Magnet, Pudja Band (Band2x dari Sukabumi yang telah menembus Major Label akhir2x ini)…Sementara band indie menggunakan studio record bisa dikatakan standar (studio indie), bahkan produksi sendiri (home production), Seperti Leeming Band, lalu Mighty Finger (Dulunya Middle Finger), Bolonk, Borgol, Inhumanity, Black Ramstain dan Band Indie Lainnya di Sukabumi.

Jadi, Siapa yang jago atau menang? Major atau Indie? Tanyakan pada diri anda? Lagu Atau Grup band yang anda paling suka itulah yang jago? Karena yang menilai adalah anda sendiri? Tidak boleh mengikuti pendapat orang lain ataukah melalui polling? Dan, yang jago tidak boleh dinilai dari penjualan albumnya? atau lain-lainnya?

Olehnya, itu Major dan Indie pada dasarnya sama cuma sisematisnya yg beda. Kadang, kita tidak bisa membedakan mana band indie mana band major. Karena itu, jika anda sulit membedakannya, kami punya pendapat bahwa keduanya adalah band Anak Republik Indonesia. Lebih pendeknya Band Lokal Indonesia atau band Lokal. Jadi bagi kami, keduanya adalah BAND LOKAL. Akhirnya, Mari kita mencintai band lokal Indonesia dengan Membajak Lagunya, lalu ikut mempromosikannya, setelah itu download RBTnya, trus beli jg kaset/cd originalnya.an jgn lupa tonton konsernya

Gmn apa mungkin ada pendapat lain mengenai Hal ini….?
Setuju Atau Tidak mungkin Kalian mempunyai Argumen sendiri mengenai masalah ini….

yang pasti untuk Leeming Band sendiri utk kedepannya, apa itu di bawah naungan Label major ataupun Indie.. Leeming akan berusaha utk tetap memberikan Karakter yg kuat… Amien

[...]

indie label or major label

0 komentar

Istilah Indie Label merupakan istilah yang sudah umum didengar di masyarakat. Biasanya Indie Label dianggap sebagai cara produksi serta distribusi album karya musik seorang musisi/band secara mandiri, tidak tergantung dari suatu Label besar. Sudah banyak musisi atau band yang mengedarkan albumnya dengan cara ini. Bahkan sudah membentuk komunitas tersendiri.

Label

Label secara umum diartikan sebagai sebuah perusahaan berbadan hukum yang memproduksi album karya musik dari suatu band/musisi secara masal, untuk kemudian mendistribusikannya pada masyarakat. Tentunya sebagai badan hukum Label harus mengikuti segala peraturan yang berlaku semisal SIUP, PPh, NPWP dst.

Sebelum mendistribusikan album karya musik seorang musisi/band biasanya suatu Label membuat suatu perjanjian (kontrak) dengan musisi/band yang menyangkut hal-hal seperti :

- Besarnya honor yang dibayarkan Label agar si musisi/band mengijinkan karya musiknya dipasarkan si Label.

- Lamanya si Label boleh mengedarkan karya musik si musisi/band.

- Besarnya jumlah royalti yang harus dibayarkan Label pada si musisi/band.

- Dst.

Berdasarkan kesepakatan itu Label membiayai proses rekaman album karya musik si musisi/band, menggandakannya dan mendistribusikannya ke masyarakat. Setelah bentang waktu yang disepakati tercapai, membayar royalti pada si musisi/band.

Sebagai perusahaan bisnis, suatu Label berusaha mencari untung yang sebesar-besarnya. Keuntungan itu diperoleh dari jumlah pendapatan penjualan album karya musik yang sebesar-besarnya sehingga melebihi biaya yang telah dikeluarkan.

Agar album karya musik yang dipasarkan itu bisa terjual selaris-larisnya, sehingga menghasilkan pendapatan yang sebesar-besarnya, si Label akan memantau musik yang sedang digemari masyarakat dan memasarkan album karya musik yang sesuai dengan musik yang sedang digemari itu.

Kelemahan Label

Pendekatan mencari keuntungan sebesar-besarnya seperti itu mempunyai dampak, kira-kira, secara sederhana :

- karya-karya musik yang relatif sulit dicerna masyarakat umum kebanyakan,

- atau yang penggemarnya relatif sedikit,

- atau yang jenis musiknya sedang tidak digemari masyarakat/tidak nge-trend,

Kemungkinan tidak akan diedarkan oleh Label.

Selain itu bisa terjadi, Label ‘mendorong’ seorang musisi/band untuk membuat musiknya sesuai dengan selera masyarakat supaya albumnya nanti terjual selaris-larisnya. Dengan demikian kebebasan si musisi/band dalam bermusik menjadi terbatasi oleh selera pasar.

Keuntungan Label

Namun bagi orang-orang yang tidak mempermasalahkan kebebasan bermusik, atau yang ingin cepat terkenal kaya jadi superstar, atau yang kebelet jadi selebritis yang diliput infotainmet, memasarkan album karya musiknya melalui suatu Label, apalagi Label besar, merupakan cara yang paling tepat. Sebab suatu Label besar biasanya mampu memproduksi dengan kualitas rekaman yang amat baik, menggandakan album dalam jumlah banyak, berpromosi besar-besaran serta memiliki jaringan distribusi yang luas.

Namun jangan diartikan semua musisi/band yang terkenal itu musiknya tidak berkualitas. Tentu ada musisi/band yang terkenal dan musiknya juga berkualitas seperti band PADI. Walaupun musiknya beraliran pop, yang relatif lebih mudah terjual, tetapi tetap punya kualitas yang patut diacungi jempol. Oleh karena itu sama sekali tidak boleh diremehkan. Malahan (menurut subjektifitas penulis tentunya) salah satu faktor yang membuat band ini tetap laris manis adalah justru karena mampu mempertahankan kualitas musiknya.

Indie Label

Indie Label hampir merupakan kebalikan dari Label dalam arti tidak harus berupa badan hukum. Bisa saja merupakan perorangan atau secara berkelompok.

Kegiatannya sama saja dengan Label, yaitu memproduksi, menggandakan serta mendistribusikan suatu album karya musik seorang musisi/band. Namun semuanya itu dilakukan secara mandiri, dibiayai sendiri, tidak tergantung pada suatu Label.

Jadi proses rekaman dilakukan dengan menyewa studio, rekaman, mixing sampai masteringnya dibiayai sendiri. Penggandaan serta distribusi juga dibiayai sendiri. Singkatnya, serba mandiri, dibiayai sendiri, dilakukan sendiri.

Kelemahan Ber - Indie Label

Kebalikan dari Label, dalam ber - Indie Label semua biaya ditanggung sendiri. Kurang lebihnya akan mencakup :

- Biaya produksi yaitu biaya dari rekaman, mixing sampai masteringnya.

- Biaya perbanyakan/penggandaan master rekaman menjadi album siap jual.

- Biaya distribusi, mencakup dari promosi sampai penjualannya.

Besarnya biaya produksi dipengaruhi oleh kualitas rekaman yang ingin dicapai. Kualitas rekaman yang tinggi memerlukan studio rekaman yang berkualitas juga. Studio macam demikian harga sewanya tinggi. Makin baik suatu studio, makin lengkap perangkatnya, makin mahal sewanya.

Besarnya biaya perbanyakan/penggandaan tergantung kualitas media rekaman, baik kaset ataupun CD. Kualitas media rekaman yang makin tinggi meminta harga yang makin tinggi juga.

Besarnya biaya distribusi dipengaruhi seberapa banyak album karya musik si musisi/band akan dijual, seberapa luas wilayah penjualannya. Apa akan dijual/didistribusikan diantara kalangan tertentu, dijual di satu RT/RW, satu kelurahan, satu kampus atau meliputi satu propinsi. Makin banyak jumlah album yang diharapkan terjual, makin luas wilayah penjualannya, makin besar biaya distribusinya.

Dengan melihat hal hal diatas sulit untuk memastikan besarnya anggaran biaya yang diperlukan untuk ber - Indie Label. Terlebih lagi biaya biaya tersebut bisa berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain. Maka sebaiknya diadakan survey terlebih dahulu untuk dapat menghitung besarnya anggaran biaya yang diperlukan.

Kurangnya anggaran biaya yang disiapkan dapat berakibat produksi album karya musik si musisi/band menjadi tersendat-sendat atau bahkan macet total. Oleh karena itu baiknya anggaran ini dipersiapkan dengan teliti.

Kelebihan Ber - Indie Label

Berhubung dalam Indie Label semuanya dilakukan sendiri secara mandiri, seorang musisi/band mempunyai kebebasan penuh :

- dalam membuat musiknya, mengekspresikan musiknya sebebas-bebasnya

- dalam menentukan konsep album karya musiknya sendiri alias menjadi produser bagi dirinya sendiri (Silahkan lihat juga artikel “Produser Musik”).

Oleh karena itu Indie Label sangat cocok bagi musisi/band yang karya musiknya :

- Relatif sulit dicerna masyarakat umum kebanyakan.

- Penggemarnya relatif sedikit.

- Sedang tidak digemari masyarakat/tidak nge-trend.

(Semisal dark metal, jazz, pop alternatif, japanese style, punk, blues dsb)

Selain itu, bagi musisi/band yang berharap dikontrak Label, membuat album secara Indie Label berguna untuk mengumpulkan penggemar. Sehingga musisi/band tsb mempunyai basis penggemar. Konon, menurut info yang diterima, basis penggemar ini penting bagi beberapa Label sebagai tolok ukur yang cukup menentukan apakah musisi/band itu akan dikontrak atau tidak. Sebab basis penggemar ini merupakan pasar potensial bagi penjualan album karya musik si musisi/band. Musisi/band yang memiliki basis penggemar yang besar kira-kiranya berpeluang untuk dikontrak.

Beberapa Alternatif Bagi Indie Label

Musik Digital

Mengingat tingginya biaya produksi suatu album karya musik, barangkali ada baiknya penggunaan teknologi Musik Digital dipertimbangkan (Silahkan lihat juga artikel “Musik Digital”).

Walaupun masih mengeluarkan biaya juga (dari komputer, instrument musik, speaker monitor), serta memerlukan ketekunan untuk menguasainya, ada beberapa sisi positif yang patut dilihat :

- Si musisi/band tidak perlu lagi menyewa studio. Karena kegiatan produksi dari rekaman, mixing sampai mastering dapat dilakukan di komputer. Jadi mengurangi biaya untuk proses rekaman.

- Tidak tergantung lagi pada ada tidaknya studio rekaman yang berkualitas.

- Kegiatan rekaman, mixing dan mastering dapat dilakukan kapan saja tanpa dibatasi jadwal sewa studio yang tersedia.

- Kegiatan rekaman, mixing dan mastering dapat dilakukan selama mungkin tanpa dibatasi biaya sewa studio.

- Kegiatan rekaman, mixing dan mastering dapat diulang-ulang tanpa dibatasi biaya sewa studio sampai dicapai hasil yang paling memuaskan.

Singkatnya, teknologi musik digital membuat seorang musisi/band seolah-olah memiliki studionya sendiri. Dengan demikian memungkinkan si musisi/band untuk merekam karya musik dan ekspresinya sebebas-bebasnya.

Replikator/Duplicator CD (Compact Disc)

Teknologi komputer yang semakin berkembang juga melahirkan berbagai teknologi teknologi lainnya yang mengiringinya. Semisal teknologi replikator CD.

Replikator CD secara sederhana adalah sebuah alat yang memiliki kemampuan untuk menyalin suatu CD sebagai master/induk ke CD lainnya yang masih kosong/belum ada isinya (atau membuat replika sebuah CD). Sehingga terdapatlah beberapa CD yang isinya persis sama.

Kapasitas atau kemampuan menyalin/replikasi Replikator CD amat beragam mulai dari yang mampu memperbanyak 2 buah CD sekaligus, 5 buah CD sekaligus, atau bahkan sampai ratusan. [Yang paling keren, ada replikator CD yang mampu memperbanyak sampai ratusan keping disertai cetakan gambar diatasnya.] Pastinya semakin besar kapasitas replikasi ini semakin mahal juga harganya. Sebagai contoh bisa dilihat disini.

Adanya teknologi ini dapat menjadi alternatif dalam memperbanyak album karya musik seorang musisi/band, terutama untuk perbanyakan dalam skala kecil (misalkan sampai 500 keping). Pertimbangannya :

- Harga CD kosong sekarang ini sudah cukup terjangkau, berkisar Rp. 80.000,- sampai sekitar Rp. 160.000,- per 100 kepingnya. Jadi misalkan harga CD kosong adalah Rp. 100.000,- per 100 kepingnya, maka untuk perbanyakan 500 keping hanya memakan biaya Rp. 500.000,-

- Perbanyakan CD ini dapat dilakukan sesuai keperluan, misalkan bulan ini album karya musik seorang musisi/band diperbanyak sebanyak 200 keping, bisa jadi bulan berikutnya perlu diperbanyak lagi sebanyak 110 keping.

- Bagi yang memiliki kemampuan finansial yang kuat, mampu mengadakan replikator berkapasitas besar, barangkali kegiatan perbanyakan ini bisa dijadikan suatu usaha bisnis. Apalagi bila terdapat banyak musisi/band yang ingin memperbanyak album musik karyanya.

[...]

INDIE ?

0 komentar

Seperti diketahui, Indie memang berasal dari kata Independent. Namun harus dibedakan antara independen sebagai:
(1) status artis/band atau minor label yang tidak dikuasai/dikendalikan major label
(2) independen dalam konteks indie sebagai subkultur dan genre musik

Untuk pengertian (1), sejarahnya dimulai sejak awal abad 20 dengan kemunculan minor label seperti Vocalion atau Black Patti yang kala itu berupaya mengikis dominasi major label semacam Victor, Edison, dsb. Walaupun independensi pada pola dan jaman itu tidak menjalin akar dengan pengertian (2), mereka bertendensi serupa sebagai antitesis mainstream dengan merilis musik kaum minoritas seperti blues, bluegrass, dsb. Tapi saat itu yang terjadi sekadar rivalitas antara kapital kecil melawan kapital besar dan pergerakannya tidak bersifat integral. Lalu di era 50-an mulai berkembang wacana independen untuk memerdekakan kreativitas dari intervensi kepentingan industri. Kendati demikian, kondisi yang tercipta tidak menghasilkan karakter signifikan. Bipolarisasi terhadap arus utama belum terwujud. Mereka memang berproduksi secara minor tapi iramanya masih mengacu ke pola major label juga. Walaupun bermotif kebebasan berekspresi, mereka hanya independen secara kapital dari major label namun orientasi musiknya tetap setipe major label.


Kecenderungan awam dalam menyikapi istilah indie adalah menyamaratakan semua yang independen sebagai “indie”. Dengan demikian itu hanya bertumpu ke unsur kata (independen) saja sebagai kemerdekaan secara harafiah dan tanpa batas. Ada pula yang mempertanyakan “indie” dalam kapasitasnya sebagai kebebasan mutlak. Padahal independensi dalam wacana (2) sangat berbeda dengan (1). Artinya istilah indie sesungguhnya masih merujuk ke spesifikasi tertentu. Indie akan mampu dipahami secara proporsional bila ditelusuri ke konteks historis atau wacana terjadinya pembentukan istilah itu. Namun jarang ada media yang mau menggali lebih dalam. Sehingga “indie” cenderung dikotakkan sebagai musik laris manis yang cocok bagi selera awam. Sedangkan musik indie sesungguhnya yang underrated malah diabaikan. Hal semacam itulah yang kerap menimbulkan miskonsepsi publik bahwa “indie” semata-mata pola kerja dan kemurnian idealisme. Bagaimana bila sebuah band beridealisme mainstream tapi mereka berproduksi secara swadaya? Apakah itu termasuk indie? Tentu tidak. Karena independen secara minor label atau self-released tidak menjamin artis/label itu berkarakter indie. Karena seseorang yang berjiwa mainstream pun bisa saja menghasilkan karya berkarakter mainstream tapi dikemas secara Do-It-Yourself dengan dalih kebebasan ekspresi atau budget minim.

Kasusnya seperti gaya rambut suku indian “Mohawk” yang sudah ada sebelum punk. Namun orang cenderung menggeneralisir semua gaya rambut mohawk sebagai representasi punk. Padahal tidak semua orang yang berambut mohawk menganut ideologi punk. Demikian pula halnya pada pemahaman minor label atau self-released yang disetarakan indie, padahal keduanya bukan parameter mutlak bagi status indie. Oleh karena itu, perlu ada pembelajaran bagi masyarakat agar mereka tidak latah terhadap istilah “indie”. Artinya publik patut memahami bahwa segala sesuatu yang independen belum tentu indie dan indie belum tentu independen (secara label). Asal mula kata independent menjadi indie bermula dari tabiat anak-anak muda Inggris yang suka memotong kata agar mempermudah pelafalan informal seperti; distribution menjadi distro, british menjadi brit, dsb. Di balik pemendekan kata independen itu kemudian terkandung sebuah definisi kontekstual indie yang menjadi basis pergerakan subkultural. Sehingga sejak masa itu tidak sembarang makna independen secara umum bisa diasosiasikan dengan indie. Namun hingga kini pun orang awam masih sering salah paham dengan menyamakan makna indie dalam wacana (2) dengan independen dalam wacana (1).


Namun seperti uraian di atas, dalam perkembangannya istilah indie mengalami perluasan makna akibat eksploitasi media massa yang menjadikannya rancu. Secara general, definisi indie di Indonesia cenderung dipublikasikan sebagai pola kerja mandiri semata. Padahal esensi indie bukan sekadar kemandiriannya saja, namun lebih kepada Roots-Character-Attitude (RCA) yang bertumpu pada resistensi terhadap mainstream. Sebagai contoh, The Smiths dan New Order dirilis oleh Warner Music namun reputasinya masih diakui sebagai band indie karena RCA mereka adalah indie. Bahkan secara internasional indie diakui sebagai genre. Itu artinya, ada sebuah konsensus global yang memahami indie dalam spesifikasi musik tertentu.Lalu bagaimana menentukan band itu indie atau bukan? Disinilah arti penting parameter RCA yang telah disebutkan tadi. Guna mendistribusikan rekaman indie, para scenester (aktivis musik) indie membangun jalur distribusi di luar sistem mainstream yang kemudian dikenal sebagai distro. Dengan demikian, indiepop sebenarnya menerapkan unsur-unsur budaya resistensi punk walaupun para pelakunya tidak berdandan ala punk. Keistimewaan indie terletak pada jaringan kerjanya. Indie tanpa networking akan menjadi benteng tanpa prajurit. Dalam relasinya indie cenderung lebih mengedepankan unsur humanis. Dukungan mutualisme semacam ini sebenarnya adalah warisan dari 3 dekade silam ketika indie label yang lebih besar memberi dukungan kepada indie label yang lebih kecil untuk berkembang lebih pesat tanpa mengawatirkan rivalitas pasar. Indie bergerak kepada orientasi pendengar yang segmentatif. Kalaupun akhirnya mendapat respon luas, itu dianggap senagai bonus saja. Faktor penentunya adalah sikap artis/band indie tersebut ketika mulai dikenal secara luas. Mereka harus lebih bijak dalam menjaga pakem agar karakternya tidak terseret menjadi pasaran atau kacangan.


Bisa dibilang indie yang ideal adalah indie yang ekslusif. Parameter tersebut adalah RCA yang mengacu pada subkultur indiepop itu sendiri. Singkatnya indie adalah etos cutting edge, avant garde atau budaya kreatif yang menjadi alternatif dari pola-pola musik pada umumnya.

Seiring perkembangan corak musik, indiepop masa kini secara musikal memang tidak lagi sarat dengan punk. Namun etos punk masih dan akan selalu dianut olah para musisi indiepop di belahan dunia manapun. Dengan musik yang sangat catchy dan selling, sebenarnya banyak band indiepop yang berpeluang besar untuk menjadi artis jutaan kopi dengan menawarkan demo ke major label. Namun mereka tidak melakukan itu karena orientasi mereka bukan sekadar popularitas dan kemewahan, namun lebih kepada kepuasan personal dan idealisme dalam berkarya. Bahkan ada yang menolak tawaran manggung hanya karena skala pentas dan panggungnya terlalu besar.

Sikap semacam itu pun banyak ditunjukkan band indiepop lainnya dengan menjaga jarak dengan pers umum. Inilah contoh sikap punk yang berbeda dari stereotipe artis mainstream. Musisi lokal yang memang ingin menjadi indie seharusnya banyak belajar dari situ sehingga mereka tidak menjadi popstar wannabe yang terobsesi gemerlap popularitas secara mainstream. Kurt Cobain bisa jadi contoh ideal sebagai figur musisi indie karena dia malah depresi saat musiknya kian terkenal dan pasaran. Indiepop mengajarkan pada kita bahwa pop tidak diukur dari sebarapa banyak rekaman yang terjual atau seberapa banyak penggemarnya. Ketika industri mainstream menganggap musik yang bagus harus dilegitimasi oleh hype/trend massal dan dominasi chart, indiepop secara murni menghargai musisi dari musiknya, bukan dari popularitas. Indiepop juga meyakini bahwa pop tidak harus masuk Top 40 atau diliput media mainstream. Pop dalam konteks indiepop adalah cita rasa berbalut sikap menentang mainstream.


Kurang lebih 10 tahun sudah indiepop eksis di Indonesia sebagai sebuah genre dan kultur tandingan; setipe dengan metal, punk maupun hardcore bersama fanzine-nya yang telah berkembang lebih dahulu. Bandung dan Jakarta adalah dua kota yang menjadi sentra kemunculan dan berkembangnya indiepop di negeri kita. Dari sana baru beberapa tahun kemudian indiepop mulai menyebar sampai ke Jogja, Surabaya, Semarang, bahkan hingga kota kecil seperti Purwokerto, Malang, Bogor, Salatiga, dst.

Beberapa tahun kemudian, Jakarta semakin berkembang dengan lahirnya generasi baru yang tidak sekadar terpengaruh britpop, melainkan varian yang lebih progresif (twee, jangle, bliss, folk, dsb.). Blossom Diary, Santa Monica, The Sweaters, Sugarstar, C’Mon Lennon, Ballads of the Cliché, Belladonna, dan The Sastro adalah sekian dari banyak penerus kultur indiepop saat ini. Jangkauan mereka pun makin mendunia dengan dirilisnya karya mereka oleh berbagai label indiepop di luar negeri. Perkembangan indiepop di Jakarta juga ditunjang oleh maraknya komunitas yang tersebar di hampir seluruh penjuru Ibu kota seperti Balai Pustaka, Senayan Street, dsb. Berkat pergerakan semacam itulah scene Jakarta mampu terus berkembang melalui regenerasinya yang sangat dinamis. Begitu pula dengan perkembangan scene musik di Bandung dan Jogja.

Dalam skala global, indiepop telah berkembang menjadi jaringan kerja antar bangsa yang memungkinkan terjadinya rotasi untuk saling merilis rekaman di negara masing-masing. Mereka bisa saling berkomunikasi dengan baik karena idealisme mereka terhadap indie sama-sama merujuk kepada pemahaman internasional,. Jaringan ini akan semakin solid dengan munculnya generasi baru yang tumbuh dengan idealisme mengakar dalam jiwa mereka, yaitu spirit independensi untuk selalu menjadi counter-culture terhadap musik mainstream, resistensi pada tren atau selera awam, dan idealisme self-sustain/self-indulgement yang menjadi karakter eksistensinya, seperti kawan-kawan mereka di negara lain di seluruh belahan dunia.

Semoga wacana ini bisa menjadi pengantar bagi kamu yang ingin lebih mendalami musik indie. Mulailah dengan memahami bahwa independen belum tentu indie dan indie belum tentu independen (secara label). Dari situ niscaya kamu akan memperoleh pencerahan untuk menyadari bahwa selama ini “indie” yang dimanipulasi secara mainstream adalah suatu pembodohan. Jadi kalau ada band pop non-major label yang musiknya setipe Colpdlay atau Nidji dan mereka mengklaim dirinya “indie”, berarti kamu sedang dibodohi.



[...]

PERGESEREN BAND INDIE

0 komentar

Seharusnya band Indie merupakan band
yang beridealis dengan karakter musikalitas
dan menghasilkan sesuatu yang baru berdasarkan
eksperimennya tanpa mengikuti trend, sekaligus mereka melakukan aktivitas band secara mandiri, seperti menitipkan demo ke radio, mencari gigs hingga memproduksi album. Apalagi pegenalan dan penjualan karya sudah dapat dilakukan melalui teknologi internet.

Seiring jaman, tidak salah kalau mereka mendapatkan akses yang mudah untuk mendukung aktivitas band indie itu sendiri. Kebutuhan kepada seseorang yang dipercayai untuk mengurusi band, banyaknya telah menjadi kebutuhan band indie (mandiri). Selain itu kertertarikan Indie maupun Major Label pun akan bersikap mengikuti keadaan idealisme band itu sendiri yang dilihat dari karya, budaya dan massa.

Suatu pekerjaan rumah untuk penggemar mereka adalah mengenalkan dan mengenalkan karya mereka. Ini lebih efektif dan mungkin akan menarik industri, baik Indie ataupun Major Label. Perlahan budaya akan berubah untuk menikmati karya-karya dari musisi kritis dengan keidealisan karyanya. Dalam kenyataannya bentukan Label yang dikatakan Major mempertimbangkan pasar yang luas. Hanya saja mereka tidak berani untuk berbuat lebih banyak pada budaya musik yang berkualitas dengan alasan budaya itu sendiri telah menjiwai. Sebaliknya, hal ini adalah Indie Label yang berjasa besar. Sebuah harga yang harus mahal untuk karya musikalitas yang berkualitas, bukan karya yang terlahir karena mengikuti trend, tuntutan budaya atau industri musik/hiburan.

Bagaimanapun hal yang terpenting merupakan karya yang berkualitas dengan keidealisan dan berbeda, terlepas dari kemasan yang akan mereka baluti. Setuju kalau budaya Indonesia itu harus dilestarikan dengan kualitas dunia tentunya juga. Dan bukan mulahan melestarikan budaya luar. Dari artikel ini menyatakan bahwa band indie saat ini, banyaknya hanyalah merupakan musik indie bukan pergerakan dari band yang mengatasnamakan band indie. Jangan terjebak oleh perasaan minoritas.

[...]