INDIE ?

Seperti diketahui, Indie memang berasal dari kata Independent. Namun harus dibedakan antara independen sebagai:
(1) status artis/band atau minor label yang tidak dikuasai/dikendalikan major label
(2) independen dalam konteks indie sebagai subkultur dan genre musik

Untuk pengertian (1), sejarahnya dimulai sejak awal abad 20 dengan kemunculan minor label seperti Vocalion atau Black Patti yang kala itu berupaya mengikis dominasi major label semacam Victor, Edison, dsb. Walaupun independensi pada pola dan jaman itu tidak menjalin akar dengan pengertian (2), mereka bertendensi serupa sebagai antitesis mainstream dengan merilis musik kaum minoritas seperti blues, bluegrass, dsb. Tapi saat itu yang terjadi sekadar rivalitas antara kapital kecil melawan kapital besar dan pergerakannya tidak bersifat integral. Lalu di era 50-an mulai berkembang wacana independen untuk memerdekakan kreativitas dari intervensi kepentingan industri. Kendati demikian, kondisi yang tercipta tidak menghasilkan karakter signifikan. Bipolarisasi terhadap arus utama belum terwujud. Mereka memang berproduksi secara minor tapi iramanya masih mengacu ke pola major label juga. Walaupun bermotif kebebasan berekspresi, mereka hanya independen secara kapital dari major label namun orientasi musiknya tetap setipe major label.


Kecenderungan awam dalam menyikapi istilah indie adalah menyamaratakan semua yang independen sebagai “indie”. Dengan demikian itu hanya bertumpu ke unsur kata (independen) saja sebagai kemerdekaan secara harafiah dan tanpa batas. Ada pula yang mempertanyakan “indie” dalam kapasitasnya sebagai kebebasan mutlak. Padahal independensi dalam wacana (2) sangat berbeda dengan (1). Artinya istilah indie sesungguhnya masih merujuk ke spesifikasi tertentu. Indie akan mampu dipahami secara proporsional bila ditelusuri ke konteks historis atau wacana terjadinya pembentukan istilah itu. Namun jarang ada media yang mau menggali lebih dalam. Sehingga “indie” cenderung dikotakkan sebagai musik laris manis yang cocok bagi selera awam. Sedangkan musik indie sesungguhnya yang underrated malah diabaikan. Hal semacam itulah yang kerap menimbulkan miskonsepsi publik bahwa “indie” semata-mata pola kerja dan kemurnian idealisme. Bagaimana bila sebuah band beridealisme mainstream tapi mereka berproduksi secara swadaya? Apakah itu termasuk indie? Tentu tidak. Karena independen secara minor label atau self-released tidak menjamin artis/label itu berkarakter indie. Karena seseorang yang berjiwa mainstream pun bisa saja menghasilkan karya berkarakter mainstream tapi dikemas secara Do-It-Yourself dengan dalih kebebasan ekspresi atau budget minim.

Kasusnya seperti gaya rambut suku indian “Mohawk” yang sudah ada sebelum punk. Namun orang cenderung menggeneralisir semua gaya rambut mohawk sebagai representasi punk. Padahal tidak semua orang yang berambut mohawk menganut ideologi punk. Demikian pula halnya pada pemahaman minor label atau self-released yang disetarakan indie, padahal keduanya bukan parameter mutlak bagi status indie. Oleh karena itu, perlu ada pembelajaran bagi masyarakat agar mereka tidak latah terhadap istilah “indie”. Artinya publik patut memahami bahwa segala sesuatu yang independen belum tentu indie dan indie belum tentu independen (secara label). Asal mula kata independent menjadi indie bermula dari tabiat anak-anak muda Inggris yang suka memotong kata agar mempermudah pelafalan informal seperti; distribution menjadi distro, british menjadi brit, dsb. Di balik pemendekan kata independen itu kemudian terkandung sebuah definisi kontekstual indie yang menjadi basis pergerakan subkultural. Sehingga sejak masa itu tidak sembarang makna independen secara umum bisa diasosiasikan dengan indie. Namun hingga kini pun orang awam masih sering salah paham dengan menyamakan makna indie dalam wacana (2) dengan independen dalam wacana (1).


Namun seperti uraian di atas, dalam perkembangannya istilah indie mengalami perluasan makna akibat eksploitasi media massa yang menjadikannya rancu. Secara general, definisi indie di Indonesia cenderung dipublikasikan sebagai pola kerja mandiri semata. Padahal esensi indie bukan sekadar kemandiriannya saja, namun lebih kepada Roots-Character-Attitude (RCA) yang bertumpu pada resistensi terhadap mainstream. Sebagai contoh, The Smiths dan New Order dirilis oleh Warner Music namun reputasinya masih diakui sebagai band indie karena RCA mereka adalah indie. Bahkan secara internasional indie diakui sebagai genre. Itu artinya, ada sebuah konsensus global yang memahami indie dalam spesifikasi musik tertentu.Lalu bagaimana menentukan band itu indie atau bukan? Disinilah arti penting parameter RCA yang telah disebutkan tadi. Guna mendistribusikan rekaman indie, para scenester (aktivis musik) indie membangun jalur distribusi di luar sistem mainstream yang kemudian dikenal sebagai distro. Dengan demikian, indiepop sebenarnya menerapkan unsur-unsur budaya resistensi punk walaupun para pelakunya tidak berdandan ala punk. Keistimewaan indie terletak pada jaringan kerjanya. Indie tanpa networking akan menjadi benteng tanpa prajurit. Dalam relasinya indie cenderung lebih mengedepankan unsur humanis. Dukungan mutualisme semacam ini sebenarnya adalah warisan dari 3 dekade silam ketika indie label yang lebih besar memberi dukungan kepada indie label yang lebih kecil untuk berkembang lebih pesat tanpa mengawatirkan rivalitas pasar. Indie bergerak kepada orientasi pendengar yang segmentatif. Kalaupun akhirnya mendapat respon luas, itu dianggap senagai bonus saja. Faktor penentunya adalah sikap artis/band indie tersebut ketika mulai dikenal secara luas. Mereka harus lebih bijak dalam menjaga pakem agar karakternya tidak terseret menjadi pasaran atau kacangan.


Bisa dibilang indie yang ideal adalah indie yang ekslusif. Parameter tersebut adalah RCA yang mengacu pada subkultur indiepop itu sendiri. Singkatnya indie adalah etos cutting edge, avant garde atau budaya kreatif yang menjadi alternatif dari pola-pola musik pada umumnya.

Seiring perkembangan corak musik, indiepop masa kini secara musikal memang tidak lagi sarat dengan punk. Namun etos punk masih dan akan selalu dianut olah para musisi indiepop di belahan dunia manapun. Dengan musik yang sangat catchy dan selling, sebenarnya banyak band indiepop yang berpeluang besar untuk menjadi artis jutaan kopi dengan menawarkan demo ke major label. Namun mereka tidak melakukan itu karena orientasi mereka bukan sekadar popularitas dan kemewahan, namun lebih kepada kepuasan personal dan idealisme dalam berkarya. Bahkan ada yang menolak tawaran manggung hanya karena skala pentas dan panggungnya terlalu besar.

Sikap semacam itu pun banyak ditunjukkan band indiepop lainnya dengan menjaga jarak dengan pers umum. Inilah contoh sikap punk yang berbeda dari stereotipe artis mainstream. Musisi lokal yang memang ingin menjadi indie seharusnya banyak belajar dari situ sehingga mereka tidak menjadi popstar wannabe yang terobsesi gemerlap popularitas secara mainstream. Kurt Cobain bisa jadi contoh ideal sebagai figur musisi indie karena dia malah depresi saat musiknya kian terkenal dan pasaran. Indiepop mengajarkan pada kita bahwa pop tidak diukur dari sebarapa banyak rekaman yang terjual atau seberapa banyak penggemarnya. Ketika industri mainstream menganggap musik yang bagus harus dilegitimasi oleh hype/trend massal dan dominasi chart, indiepop secara murni menghargai musisi dari musiknya, bukan dari popularitas. Indiepop juga meyakini bahwa pop tidak harus masuk Top 40 atau diliput media mainstream. Pop dalam konteks indiepop adalah cita rasa berbalut sikap menentang mainstream.


Kurang lebih 10 tahun sudah indiepop eksis di Indonesia sebagai sebuah genre dan kultur tandingan; setipe dengan metal, punk maupun hardcore bersama fanzine-nya yang telah berkembang lebih dahulu. Bandung dan Jakarta adalah dua kota yang menjadi sentra kemunculan dan berkembangnya indiepop di negeri kita. Dari sana baru beberapa tahun kemudian indiepop mulai menyebar sampai ke Jogja, Surabaya, Semarang, bahkan hingga kota kecil seperti Purwokerto, Malang, Bogor, Salatiga, dst.

Beberapa tahun kemudian, Jakarta semakin berkembang dengan lahirnya generasi baru yang tidak sekadar terpengaruh britpop, melainkan varian yang lebih progresif (twee, jangle, bliss, folk, dsb.). Blossom Diary, Santa Monica, The Sweaters, Sugarstar, C’Mon Lennon, Ballads of the Cliché, Belladonna, dan The Sastro adalah sekian dari banyak penerus kultur indiepop saat ini. Jangkauan mereka pun makin mendunia dengan dirilisnya karya mereka oleh berbagai label indiepop di luar negeri. Perkembangan indiepop di Jakarta juga ditunjang oleh maraknya komunitas yang tersebar di hampir seluruh penjuru Ibu kota seperti Balai Pustaka, Senayan Street, dsb. Berkat pergerakan semacam itulah scene Jakarta mampu terus berkembang melalui regenerasinya yang sangat dinamis. Begitu pula dengan perkembangan scene musik di Bandung dan Jogja.

Dalam skala global, indiepop telah berkembang menjadi jaringan kerja antar bangsa yang memungkinkan terjadinya rotasi untuk saling merilis rekaman di negara masing-masing. Mereka bisa saling berkomunikasi dengan baik karena idealisme mereka terhadap indie sama-sama merujuk kepada pemahaman internasional,. Jaringan ini akan semakin solid dengan munculnya generasi baru yang tumbuh dengan idealisme mengakar dalam jiwa mereka, yaitu spirit independensi untuk selalu menjadi counter-culture terhadap musik mainstream, resistensi pada tren atau selera awam, dan idealisme self-sustain/self-indulgement yang menjadi karakter eksistensinya, seperti kawan-kawan mereka di negara lain di seluruh belahan dunia.

Semoga wacana ini bisa menjadi pengantar bagi kamu yang ingin lebih mendalami musik indie. Mulailah dengan memahami bahwa independen belum tentu indie dan indie belum tentu independen (secara label). Dari situ niscaya kamu akan memperoleh pencerahan untuk menyadari bahwa selama ini “indie” yang dimanipulasi secara mainstream adalah suatu pembodohan. Jadi kalau ada band pop non-major label yang musiknya setipe Colpdlay atau Nidji dan mereka mengklaim dirinya “indie”, berarti kamu sedang dibodohi.



0 komentar:

Posting Komentar